Perbandingan Hidup di Kota dan Hidup di Desa
Tempat tinggal adalah kebutuhan pokok bagi semua manusia. Ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk menentukan di mana ia akan bertempat tinggal.
Begitu juga dengan keluarga kecil kami. Sejak awal menikah 6 tahun yang lalu sampai sekarang , kami telah 3 kali berpindah tempat tinggal.
Kami pernah tinggal di kota, di desa, bahkan tinggal di pelosok daerah transmigrasi di Lampung.
Pada kesempatan kali ini, kami ingin sedikit curhat berbagi pengalaman tentang perbandingan antara hidup di kota dengan hidup di desa. Semua ini berdasarkan pengalaman pribadi kami.
Setelah beberapa tahun tinggaldi tengah Kota Yogyakarta, kami akhirnya memutuskan untuk pindah ke tempat yang agak pinggiran, dan masih sangat terasa suasana pedesaannya. Kami urus pindah Kartu Keluarga, lalu kami membuat KTP baru sesuai alamat tempat tinggal kami yang baru. Untuk mengetahui cara pindah Kartu Keluarga silahkan baca Cara Pindah Kartu Keluarga/ Pindah jiwa.
Sebuah kejadian kecil yang bisa dibilang melatar belakangi penulisan tema ini adalah ketika saya mengajak rekan kerja saya mampir ke rumah saya di wilayah pinggiran Yogyakarta, yah suasana pedesaan lah..
Ketika saya dan rekan saya tersebut ngobrol di teras rumah, beberapa kali lewat tetangga saya, dan menyapa saya dengan bahasa jawa halus. Teman saya tiba - tiba berkomentar ,
"Wah, ternyata kamu orang yang cukup dihormati di kampungmu ya..."
"Ah , engga juga" jawabku.
Ternyata rekanku heran dengan sapaan para tetanggaku yang lewat depan rumah. Pemandangan yang jarang dijumpainya di rumahnya di tengah kota.
Di rumahnya, semua tetangganya cuek, jarang saling tegur sapa jika berjumpa. Kemudian menyimpulkan bahwa saya adalah orang terpandang, buktinya semua orang beramah tamah melihatku.
"Yah, kalo cuma begitu sih semua orang di sini juga saling menyapa", jelasku.
OK, kembali ke topik, inilah perbandingan antara hidup di desa dengan di kota. Kami ingatkan, ini bukan hasil survei, akan tetapi adalah semata apa yang kami alami. Kami juga tidak bermaksud men-generalisir.
Begitu juga dengan keluarga kecil kami. Sejak awal menikah 6 tahun yang lalu sampai sekarang , kami telah 3 kali berpindah tempat tinggal.
Kami pernah tinggal di kota, di desa, bahkan tinggal di pelosok daerah transmigrasi di Lampung.
Pada kesempatan kali ini, kami ingin sedikit curhat berbagi pengalaman tentang perbandingan antara hidup di kota dengan hidup di desa. Semua ini berdasarkan pengalaman pribadi kami.
Setelah beberapa tahun tinggaldi tengah Kota Yogyakarta, kami akhirnya memutuskan untuk pindah ke tempat yang agak pinggiran, dan masih sangat terasa suasana pedesaannya. Kami urus pindah Kartu Keluarga, lalu kami membuat KTP baru sesuai alamat tempat tinggal kami yang baru. Untuk mengetahui cara pindah Kartu Keluarga silahkan baca Cara Pindah Kartu Keluarga/ Pindah jiwa.
Sebuah kejadian kecil yang bisa dibilang melatar belakangi penulisan tema ini adalah ketika saya mengajak rekan kerja saya mampir ke rumah saya di wilayah pinggiran Yogyakarta, yah suasana pedesaan lah..
Ketika saya dan rekan saya tersebut ngobrol di teras rumah, beberapa kali lewat tetangga saya, dan menyapa saya dengan bahasa jawa halus. Teman saya tiba - tiba berkomentar ,
"Wah, ternyata kamu orang yang cukup dihormati di kampungmu ya..."
"Ah , engga juga" jawabku.
Ternyata rekanku heran dengan sapaan para tetanggaku yang lewat depan rumah. Pemandangan yang jarang dijumpainya di rumahnya di tengah kota.
Di rumahnya, semua tetangganya cuek, jarang saling tegur sapa jika berjumpa. Kemudian menyimpulkan bahwa saya adalah orang terpandang, buktinya semua orang beramah tamah melihatku.
"Yah, kalo cuma begitu sih semua orang di sini juga saling menyapa", jelasku.
OK, kembali ke topik, inilah perbandingan antara hidup di desa dengan di kota. Kami ingatkan, ini bukan hasil survei, akan tetapi adalah semata apa yang kami alami. Kami juga tidak bermaksud men-generalisir.
- Kehidupan sosial. Menurut pengalaman saya, ada sedikit perbedaan dalam hal bermasyarakat, antara desa dan kota. Penduduk kota cenderung individualis dan cuek - cuek. Contohnya adalah kisah temanku di atas. Tapi ada untungnya juga, ada enaknya juga dengan individualis ini. Enaknya ga ada yang mengganggu, apakah anda mau mengerjakan apa saja, jadi apa saja , asal tidak melanggar hukum, ga ada yang akan berkomentar atau bergunjing. Sedangkan kalau di desa, kekerabatan dan kegotong royongan masih sangat kuat. Ramah tamah dan tegur sapa masih dilestarikan. Semua beban kehidupan ditanggung bersama- sama. Pokoknya lebih kompak. Itu positifnya. Negatifnya (setidaknya menurutku), kebebasan individu terbatas. Ketika saya memiliki agenda pribadi, tiba - tiba harus saya batalkan, karena sedang ada hajatan di rumah tetangga. Ini sering terjadi. Adat istiadat juga masih sangat kuat, yang terkadang menghabiskan banyak biaya.
- Ekonomi. Secara ekonomi sebenarnya tidak jauh berbeda. Soal mata pencaharian penduduk juga hampir sama, ada yang rajin ada juga yang pemalas. Jadi sama saja. Ada sedikit perbedaan soal biaya bermasyarakat. Hidup di perkotaan ternyata biaya bermasyarakatnya relatif lebih murah jika dibandingkan dengan di desa. Hal ini dipicu oleh banyaknya kegiatan kemasyarakatan yang diselenggarakan di desa. Setiap kegiatan tidak jarang membutuhkan banyak biaya, dan biayanya dibebankan kepada seluruh warga dengan cara iuran (sumbangan). Belum lagi aneka kegiatan arisan RT yang tentu menguras waktu dan energi.
Enakan mana, di desa atau dikota?
Jawaban saya, "sama saja", tinggal bagaimana kita beradaptasi dengan lingkungan di mana kita tinggal.
Baca juga : Liburan ke desa transmigran.
Jika anda untuk pertama kalinya tinggal di desa / perkampungan, mungkin tulisan saya ini bermanfaat : Cara Beradaptasi dengan Lingkungan Perkampungan.
Baca juga : Liburan ke desa transmigran.
Jika anda untuk pertama kalinya tinggal di desa / perkampungan, mungkin tulisan saya ini bermanfaat : Cara Beradaptasi dengan Lingkungan Perkampungan.
Sekali lagi, tulisan perbandingan antara hidup di desa dengan di kota di atas berdasarkan/ terbatas atas pengalaman pribadi saya semata, dan bukan sebuah hasil penelitian ataupun survei.
Sangat mungkin berbeda dengan pengalaman anda dan keluarga anda di tempat lain.
Sangat mungkin berbeda dengan pengalaman anda dan keluarga anda di tempat lain.
Komentar
Posting Komentar